Thursday, August 28, 2014

Menuliskan Biografi Pahlawan

Bandung Mawardi

Buku adalah kunci untuk publikasi sosok dan nilai pahlawan. Rezim Orde Lama menjalankan operasionalisasi untuk publikasi pahlawan dengan membentuk Lembaga Sejarah dan Antropologi (1958). Lembaga itu memilki misi membuat buku biografi para pahlawan. Orde Baru melanjutkan misi dengan membentuk Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (1979). Klaus H. Schreiner (2005) mencatat pada tahun 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.

Penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Buku-buku biografi versi pemerintah cenderung menjadi aksentuasi nilai dan efek politis. Buku-buku biografi adalah medium pengesahan dan pengajaran mengenai pahlawan. Misi dari pemerintah mendapati tandingan dari individu dan institusi dalam menulis pahlawan dalam bentuk biografi dan novel.

* * *

Kuntowijoyo (1994) menyebutkan bahwa penulisan buku biografi di Indonesia didominasi oleh pengarang dan jurnalis. Fakta itu menjadi satire atas kompetensi ahli sejarah untuk menuliskan biografi tokoh. Penulisan buku biografi sejak tahun 1950-an menunjukkan peran dari kalangan pengarang dan jurnalis: M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.

Kehadiran buku biografi pun dibarengi dengan penerbitan novel-biografi. Novel memiliki kemungkinan untuk memadukan fakta sejarah, interpretasi, dan olahan imajinasi. Novel hadir sebagai medium unik untuk publikasi biografi dan interpretasi mengenai sosok pahlawan. Publikasi novel-biografi pahlawan: Surapati karangan Abdul Muis, Jejak Kaki Walter Monginsidi karangan S. Sinansari Ecip, Cermin Kaca Soekarno karangan Mayon Sutrisno, Cut Nya Dien karangan Ragil Soewarno Pragolapati, dan lain-lain.

Interpretasi-imajinatifi memungkinkan ada perbedaan kentara dengan olahan fakta sesuai dengan disiplin ilmu sejarah. Novel-biografi memang tidak menjadi sumber sahih dalam penelusuran sejarah tapi memberi jalan lain atas pengetahuan sisi-sisi kehidupan pahlawan. Novel-biografi itu memiliki peran unik dalam dominasi penerbitan buku-buku biografi pahlawan.

* * *

Ikhtiar menulis biografi pahlawan pun dilakukan oleh ahli dan peneliti mumpuni di luar imperatif dan proyek pemerintah. Publikasi fenomenal tampak dalam majalah Prisma No. 8 Tahun 1977 terbitan LP3ES dengan titel Manusia dalam Kemelut Sejarah. Edisi Prisma itu memuat studi kritis mengenai sosok Soekarno, Soedirman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Tan Malaka. Artikel-artikel itu mengungkap kontroversi dan bias dalam pengetahuan publik terhadap pahlawan.

Edisi lanjutan dari studi intensif dan kritis itu hadir dalam buku Sejarah Tokoh Bangsa (2005) dengan editor Yanto Bashri dan Suffani. Buku itu memuat tambahan studi kritis biografi Mohamad Hatta, W.R. Supratman, Muhammad Yamin, dan Hasyim Asy’ari. Kehadiran artikel-artikel tentang pahlawan itu melengkapi penerbitan buku-buku biografi otoritatif: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia garapan Cindy Adams, seri Tan Malaka garapan Harry A. Poeze, seri Diponegoro garapan Peter Carey, Mohammad Hatta: Biografi Politik garapan Deliar Noer, Kartini: Sebuah Biografi garapan Siti Soemandari Soeroto, Cut Nya Din: Kisah Ratu Perang Aceh garapan M.H. Skelely Lulofs, dan lain-lain.

Penulisan buku-buku biografi pahlawan dengan studi intensif dan kritis terus dilakukan untuk memberi kontribusi sebagai medium pengetahuan sejarah dan meluruskan kontroversi dan bias dalam penerbitan buku-buku biografi versi lama dalam intervensi penguasa. Kesahihan dalam pemakaian sumber-sumber sejarah, interpretasi, dan struktur tulisan dalam buku biografi kerap menjadi polemik (perdebatan) panjang dengan pelbagai perspektif dan argumentasi.

* * *

Buku Seabad Kontroversi Sejarah (2007) garapan Asvi Warman Adam memuat kritik keras mengenai publikasi buku biografi karena ada bias, dilema, dan sisi gelap tak terungkap. Kontroversi kentara adalah argumentasi untuk menobatkan seseorang sebagai pahlawan atau pemberontak mengacu pada pelbagai peristiwa dan kontribusi untuk Indonesia. Kontroversi mengenai sebutan pahlawan atau pemberontak terhadap sosok-sosok penting dalam perjalanan sejarah Indonesia menemukan momentum pada pasca-Orde Baru dengan wacana pelurusan atau revisi sejarah.

Kontroversi dengan dilema untuk meragukan atau menguatkan peran pahlawan mulai menjadi polemik panjang di media massa. Polemik itu terkadang menimbulkan kejutan dan kegamangan. Rentetan polemik itu menjadi bahan bagi Eka Nada Shofa Alkhajar dalam menulis buku Pahlawan-Pahlawan yang Digugat (2008). Buku ini memuat jejak tafsir kontroversi atas kepahlawanan Kartini, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Ida Agung Gde Agung, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai. Kontroversi itu sampai hari ini belum menemukan titik terang dan konklusi mumpuni. Begitu.



Dimuat di Jawa Pos (8 November 2oo9)

Friday, August 8, 2014

Buku dan Pengisahan Proklamasi

Bandung Mawardi *
www.solopos.com, 16 Agustus 2012

Sejarah bertaburan kisah. Sejarah memerlukan pengisahan. Indonesia bergerak di arus sejarah. Para pengisah memberi rujukan untuk pembukaan kembali halaman-halaman masa silam.
Kompetensi dan penggunaan bahasa dari para pengisah menentukan keberterimaan atau curiga. Kita justru bisa ada di persimpangan jalan saat para pengisah menyuguhkan perbedaan dan pertentangan.
Mohammad Hatta dalam artikel Legende dan Realitet Sekitar Proklamasi 17 Agustus di Mimbar Indonesia, No 32/33, 17 Agustus 1951, mengakui proklamasi adalah ”kedjadian besar jang menentukan djalan sedjarah Indonesia”.
Klaim ini menerangkan kebenaran dan kerancuan sejarah. Mohammad Hatta menganggap bahwa pengetahuan publik atas sejarah proklamasi sering terjebak oleh ”dongeng” dan ”legenda”. Mohammad Hatta mengajak publik bisa mempertimbangkan kebenaran dalam pengisahan proklamasi di buku Adam Malik berjudul Riwajat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (1950).
Mohammad Hatta dan Adam Malik memang pelaku dalam sejarah Proklamasi tapi memiliki perbedaan peran. Perbedaan ini memicu kerancuan pengisahan.
Sanggahan Mohammad Hatta atas pengisahan Adam Malik adalah kemunculan tokoh Sajuti Melik sebagai ”seorang jang memberikan kata jang penghabisan tentang isi proklamasi”. Kita bisa membuka kembali buku Adam Malik untuk membuat perbandingan efek pengisahan proklamasi.
Adam Malik di halaman ”Sepatah Kata” menjelaskan bahwa penulisan buku dimaksudkan untuk membersihkan segala kedustaan dan kebohongan dari berbagai sumber sejarah dan kesaksian.
Niat dieksplisitkan dengan pengharapan agar ”generasi jang akan datang djangan sampai tertipu atau dapat dibohongi tjerita-tjerita fantasi belaka.” Ingatan dan bukti disuguhkan tapi masih menyisakan ”kesalahan”. Mohammad Hatta meralat demi pembasmian ”dongeng” dan ”legenda” di sekitar sejarah proklamasi.
Adam Malik saat itu representasi kaum muda heroik bersama Wikana, Chaerul Saleh dan Sukarni. Mereka memang bergairah untuk mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Indonesia.
Siasat kaum muda dan kehendak Soekarno-Hatta berbeda. Situasi genting pun diresepsi oleh mereka dengan keputusan dan tindakan cepat. Barangkali persoalan waktu dan ketergesaan memengaruhi ingatan Adam Malik dan Mohammad Hatta saat mengisahkan Proklamasi Kemerdekaan RI setelah sekian tahun dari peristiwa.
Mereka bisa dalam situasi hampir sama di ruang dan waktu historis tapi perbedaan peran juga ”memisahkan” perspektif diri. Pengisahan pun mengandung perbedaan narasi situasional dan emosional.
Mohammad Hatta meralat buku Adam Malik dengan mengeluarkan buku bertajuk Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (1970). Buku ini memiliki aksentuasi pengisahan mengacu ke mata-historis Mohammad Hatta sebagai sosok intelektual dan politisi santun.
Ketenangan diri dalam menghadapi berbagai situasi politik menentukan pengisahan. Mohammad Hatta mengisahkan dengan alur runtut dan tenang. Pengisahan jauh dari emosional atau pembiasan narasi. Hatta mengaku bahwa penulisan buku tipis itu memerlukan riset dokumen di Honolulu selama enam bulan.
Mohammad Hatta pun masih membuat kesalahan terkait sikap pemerintah militer Jepang dan peran Admiral Patterson. Informasi Hatta salah dalam hal waktu dan pengaruh. Ralat diajukan oleh P Swantoro dengan tambahan penjelasan dari S Tasrif.
Ingatan manusia memang terbatas. Mohammad Hatta mengakui kesalahan itu di edisi cetakan kedua. Mohammad Hatta adalah pelaku tapi tak bisa mengisahkan secara utuh berbagai hal tentang proklamasi. Kehadiran buku Mohammad Hatta sebagai sanggahan atas buku Adam Malik adalah mekanisme mewariskan ingatan sejarah di jalan literer.
Pengisahan proklamasi melalui buku juga dilakukan oleh Ahmad Soebardjo dengan judul Lahirnya Republik Indonesia (1978). Tokoh ini terlibat dalam sejarah proklamasi meski berbeda peran dari Mohammad Hatta dan Adam Malik.
Buku ini memuat kata pengantar dari Mohammad Hatta dan Adam Malik. Pujian diberikan oleh Adam Malik: Buku ini cukup mempunyai alasan dan fundamen yang kuat sebagai buku sejarah karena penulisnya sendiri ikut serta sebagai pelakunya, maupun sebagai peninjau dan juga sebagai penyelidik.
Kesaksian Ahmad Soebardjo berbeda dari narasi Adam Malik dan Mohammad Hatta. Kita bisa simak dalam adegan percakapan antara Soekarno dan Ahmad Soebardjo saat proses penulisan teks proklamasi.
Rentan
Soekarno bertanya tentang kalimat-kalimat di Pembukaan UUD 1945. Ahmad Soebardjo mengaku ingat tapi tak utuh. Soekarno mengambil secarik kertas dan menulis kalimat dari pengucapan Ahmad Soebardjo: Kami, rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami.
Rumusan kalimat terakhir diajukan dan ditulis sendiri oleh Soekarno: Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Keterangan ini berseberangan dengan keterangan di buku Adam Malik dan Mohammad Hatta. Adam Malik mengajukan nama dan peran Sajuti Melik. Mohammad Hatta (1952) pernah mengingatkan bahwa kalimat pertama dalam proklamasi ”menjatakan kemauan bangsa, jang dari itu ke atas menentukan nasibnja sendiri”.
Kalimat kedua ”bukanlah perkataan jang teringat sekonjong-konjong, melainkan adalah pertimbangan jang telah matang dipikirkan.” Deskripsi adegan Ahmad Soebardjo jadi ”meragukan” jika dibandingkan dengan pengakuan Hatta. Mereka memang hadir bersama dan terlibat dalam proses penulisan teks proklamasi.
Kejanggalan tampak di buku Ahmad Soebadjo dalam penulisan kalimat-kalimat teks proklamasi: Kami rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Kita bisa membandingkan dengan kalimat-kalimat berikut ini: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Perbedaan ini fatal dalam urusan bahasa dan makna. Gejala perubahan dan perbedaan kalimat juga menjadi kecurigaan Sudiro. Sekian naskah dengan keredaksian bahasa berbeda mungkin telah beredar ke negara-negara asing melalui pemberitaan wartawan saat meliput peristiwa-peristiwa di sekitar proklamasi.
Sudiro dalam buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 (1972) mengingatkan tentang keotentikan kalimat-kalimat dalam teks proklamasi. Curiga Sudiro adalah tanda seru untuk sekian pengisahan oleh para pelaku sejarah.
Penerbitan buku-buku pengisahan proklamasi adalah rujukan tertulis dengan berbagai perbedaan perspektif. Kita bisa membaca dan memberi refleksi tentang ”keburaman” dan ”kerancuan” sejarah.
Pengajuan empat buku dari Adam Malik, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, Sudiro merupakan representasi pengisahan sejarah yang rentan klaim dan kesalahan.


*)Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Bahasa, Nasionalisme, Kekalahan

Bandung Mawardi *
Bali Post, 5 Mei 2013

SEJARAH Indonesia dalam pengertian negara telah melimpah. Pembacaan untuk mengenangkan atau mengimpikan Indonesia menjadi kelumrahan karena zaman modern menghendaki kesadaran negara tumbuh sebagai takdir perubahan. Penjelmaan negara itu diresmikan dengan paket nasionalisme saat masa kolonialisme. R E Elson (2009) dalam The Idea of Indonesia pun mengisahkan Indonesia dalam utopia negara dan mengabsenkan bahasa. Produksi wacana ini memunculkan konsekuensi seolah bahasa sekadar ornamen dalam geliat nasionalisme untuk “mencipta” Indonesia. Bahasa ada dalam paket nasionalisme itu kendati kerap menjadi instrumen karena belum memiliki historiografi. Bahasa jadi remang-remang ketimbang negara sebagai proyek.
Joseph Brodsky dalam sepucuk surat pada penguasa Uni Soviet menulis tantangan saat peraih Nobel Sastra 1987 mesti disingkirkan dari negeri sendiri. Brodsky menulis: “Bahasa jauh lebih tua dan penting ketimbang negara.” Petikan surat ini bisa mengingatkan bahwa mengurusi sejarah bahasa Indonesia adalah keharusan. Penulisan sejarah Indonesia sebagai negara malah mengesankan ada pelupaan atas bahasa. Usia tua bahasa kalah pamor oleh nalar kemodernan. Negara jadi idaman tapi bahasa nelangsa dalam gelap-sejarah.
Ketuaan bahasa Indonesia hampir tersingkirkan dari pewacanaan historis-politis. Hilmar Farid (1996) mengingatkan bahwa pewacanaan bahasa di negeri ini kerap dipahami sebagai hasil nasionalisme. Kesadaran atas bangsa untuk menjelma negara malah jadi penentu kelahiran bahasa Indonesia. Nalar ini kentara mengabaikan kesejarahan bahasa Indonesia. Bangsa menemukan bahasa? Wacana ini tumbuh tanpa dibarengi dengan kerja keras untuk penulisan historiografi bahasa Indonesia. Bahasa pun sekadar termaktub dalam bab kecil atau masuk sebagai catatan kaki.
Nasionalisme
Proyek bahasa dalam sastra abad XIX dan XX mengandung utopia-utopia untuk menjelma embrio nasionalisme. Jejak-jejak bahasa ini tampak kehilangan rumah karena gagasan bangsa mencuat. Produksi buku-buku sastra, koran, atau majalah dengan penggunaan formula awal bahasa Indonesia malah termaknai dalam kerancuan proyek identitas. Bahasa itu mempertemukan pelbagai perbedaan etnis dalam permainan dominasi. Bangsa (Indonesia) mungkin ikut terbentuk karena produksi bahasa ketimbang oleh kesadaran modern membentuk komunitas atau gerakan politik. Bahasa memicu pembentukan nasionalisme?
Kepekaaan atas kesejarahan bahasa sebagai pemicu nasionalisme tampak dari studi Benedict Anderson dalam Imagined Communities. Anderson memberi contoh geliat nasionalisme Jerman. Kapitalisme cetak dan bahasa menjadi bahan-bahan signifikan untuk merevolusikan paham bangsa di kalangan petani dan kebangsaan Jerman di kalangan bugher kota. Kasus ini mirip dengan efek kapitalisme mesin cetak di Hindia Belanda sebagai pemicu dari pemihakan gagasan bangsa dan identitas. Nasionalisme tumbuh dalam buku, pamflet, pidato, koran, atau majalah dengan pertaruhan bahasa. Nasionalisme itu tumbuh melalui bahasa Melayu, Belanda, Jawa, Sunda, Bugis, China, atau Batak. Bahasa dalam ilustrasi ini mengesankan sebagai pembuka pintu untuk pembentukan dan sebaran nasionalisme sebelum ada konsesus politik-kultural atas nama Bahasa Indonesia (1928, 1938, 1945).
Pemakaian bahasa dalam produksi sastra abad XX telah identik dengan gagasan nasionalisme. Tulisan-tulisan Muhammad Yamin, Roestam Effendi, Mohamad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, atau Sanoesi Pane menjadi proyek identitas dan pematangan nasionalisme kendati ada keterbatasan dalam komunikasi politik. Sastra memberi arti saat paket politik kerap disuarakan dengan bahasa Belanda karena prosedur politik kolonial dan berkah dari model pendidikan ala kolonial. Bahasa Indonesia mengisahkan diri dengan intensif dalam sastra
Proyek nasionalisme-bahasa dalam sastra dikuatkan dengan pewacanaan dalam jagat jurnalistik. Kesadaran dan kemauan politik-kultural dalam kerja jurnalistik jadi prolog pelaksanaan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938). Kongres ini merupakan jalan sambungan dari konsensus 1928 tapi memiliki makna kunci karena memicu kemauan membesarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa politik, ekonomi, seni, pendidikan, dan kultural. Legitimasi atas pilihan ini dilakukan oleh kalangan politisi modern, intelektual, pengarang, wartawan, dan penguasa tradisional. Implikasi bahasa pun lekas menyebar ke penjuru negeri dengan pengesahan-pengesahan secara efektif dan efisien untuk mengusung nasionalisme.
Petikan dalil dari makalah Sutan Takdir Alisjahbana saat kongres di Solo itu pantas jadi penanda dari relasi bahasa dalam agenda politik-kultural. Bahasa menentukan kualitas dan jalan nasionalisme (bangsa) melalui cara pikir bahasa dalam kemodernan. Sutan Takdir Alisjahbana mengungkapkan: “Oleh karena bahasa ialah alat keboedajaan jang terpenting dan oleh karena berpikir cara modern bersandar pada bahasa, maka keboedajaan Indonesia jang baroe hanja moengkin toemboeh dengan baik apabila bangsa Indonesia seoemoemnja ataoe sekoerang-koerangnja jang mendjadi pemoeka dalam segala lapangan keboedajaan Indonesia, paham betoel akan bahasa Indonesia.”
Kekalahan
Fragmen-fragmen kesejarahan ini adalah tanda seru untuk kematangan nasionalisme hari ini saat proyek demokrasi luka-luka oleh konstitusi, arogansi komunikasi politik, kebanalan kurikulum pendidikan, kooptasi bahasa global, kesekaratan bahasa etnik, dan pengerasan bahasa oleh kekuasaan. Biografi bahasa Indonesia memang identik dengan kekuasaan tapi kerap diabaikan sebagai substansi Indonesia. Bahasa-nasionalisme mengubah diri dalam godaan globalisasi.
Soekarno dan Soeharto besar karena bahasa. Kekuasaan mereka hadir melalui bahasa Indonesia. Masa lalu itu digantikan oleh kesibukan mengurusi politik dan penglahiran undang-undang kebahasaan. Bahasa Indonesia mendapati perlindungan politik saat perhatian etik sudah pudar oleh ambisi demokratisasi-global dan menuruti kemauan pasar dalam konsensus bahasa global. Sastra memang masih jadi rumah bahasa tapi kadang lelah dan dimentahkan oleh proyek politik-ekonomi. Perlindungan politik melalui konstitusi seolah mengabarkan kekalahan telak bahasa Indonesia atas perubahan zaman dan rezim-kapital. Bahasa Indonesia telah kehilangan rumah-bangsa?
Penjelasan historis-utopis dari Benedict Anderson dalam Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia (1990) memberi tanda seru untuk proses menghidupi atau mematikan bahasa Indonesia. Anderson ingin bahasa Indonesia tak sekadar untuk mengekspresikan nasionalisme, aspirasi Indonesia, atau mengungkapkan tradisi-tradisi Indonesia. Bahasa Indonesia mesti menjadi kekutan vital dari proses perubahan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa politik memang menegangkan tapi jalan kultural mesti disemaikan untuk merawat kesejarahan dan capaian masa depan.
Bahasa Indonesia memang jarang jadi wacana primer untuk proyek Indonesia mutakhir. Bahasa kalah dengan modal dan politik. perkara-perkara bahasa pun tersembunyi oleh urusan korupsi, skandal seks, gosip, sinetron, atau kriminalitas. Bahasa mungkin masih jadi masalah dalam sastra kendati asing di rumah-bangsa sendiri. Bahasa Indonesia hari mirip tumbal dari ketamakan kapitalisme dan arogansi demokratisasi-global. Bahasa Indonesia hampir tanpa historiografi dan impian untuk menentukan masa depan. Begitu.

*) Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Buku, Televisi, Selebritas

Oleh: Bandung Mawardi
Dimuat di Suara Merdeka (28 Desember 2oo8)

Siapa masih khusyuk mengonsumsi berita, cerita, derita selebritas di televisi? Televisi masih jadi kiblat hidup orang-orang Indonesia. Selebritas terus jadi “sumur tak pernah kering” untuk godaan tak usai. Penonton televisi mendapati sihir untuk menikmati lakon hidup selebritas dari perkara aib sampai mimpi. Acara-acara mengenai selebritas adalah godaan genit untuk penonton sejak pagi hari sampai larut malam.
Kritik dan protes tak bisa mempan untuk membunuh atau mengurangi acara dengan lakon-lakon selebritas. Acara tentang selebritas mungkin adalah ruh untuk hidup dan mati televisi. Penonton pun terus khusyuk menonton televisi. Neil Postman (1995) dalam kritik keras mengungkapkan bahwa ibadah menonton televisi adalah tindakan “menghibur diri sampai mati”. Garin Nugroho juga dengan kritis dalam buku Seni Merayu Massa (2005) mengajukan tanya: “Televisi, musuh di ruang keluarga Indonesia?”
Bagaimana perkara selebritas mendapati analisis kritis dalam sorotan studi kebudayaan populer atau cultural studies? Ignatius Haryanto memberi paparan kritis dalam buku Aku Selebriti Maka Aku Penting (2006). Judul buku ini merupakan plesetan dari adagium Descartes: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Judul buku ini mengisyaratkan kegeraman dan kegemasan terhadap selebritas, televisi, dan penonton di Indonesia. Buku ini masuk dalam genre studi kebudayaan populer dalam sorotan cultural studies. Jenis-jenis buku ini memang ramai di dunia perbukuan Indonesia sejak tahun 2000-an sebagai acuan untuk membaca lakon kebudayaan populer mutakhir.
Ignatius Haryanto dalam bab “Aku Selebriti maka Aku Penting”, “Infotainment: Pengingkaran Fungsi Informasi?”, dan “Pekerja Infotainment, Profesionalisme, dan Etika” secara gamblang mendedahkan sisi gelap dan ironi dalam acara televisi dengan lakon dan komoditi selebritas. Inilah refleksi Ignatius Haryanto: “Dunia ini seolah extravaganza dengan parade keriuhan tanpa henti, di mana artis cantik dan ganteng satu persatu bermunculan, membentuk barisan tanpa putus. Kita pun dihibur dan dihibur dan dihibur.”
Kritik atas acara hiburan televisi memang tidak pernah absen meski tak ada tanda perubahan secara signifikan. Kritik justru mendapati jawaban mencengangkan bahwa acara-acara hiburan dan selebritas semakin bertambah dan digandrungi penonton. Logika untuk membenahi kualitas acara televisi kerap ambruk oleh kepentingan kapital, rating, atau apa saja.
Kritik muncul karena ada gelagat dan fakta bahwa acara-acara di televisi adalah senjata mencari uang dengan “mengutuk” penonton sebagai umat dan korban. Acara infotainment, sinetron, talk show, kuis, atau reality show dengan kiblat selebritas kerap mengantarkan penonton pada tabrakan etika, humanisme, spiritualitas, intelektualitas, dan kesadaran rasionalitas. Acara-acara televisi memang menjadi “menu lezat tapi mematikan.”
Buku-buku tentang budaya populer atau cultural studies pantas jadi referensi untuk membaca dan menilai pelbagai program acara televisi dan sihir selebritas. Sekian buku-buku terjemahan: Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (2003) oleh Dominic Strinati, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan: Lanskap Konseptual Cultural Studies (2003) oleh John Storey, Cultural Studies: Teori dan Praktik (2005) oleh Cris Barker, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (2007) oleh John Storey, dan Media dan Budaya Populer (2008) oleh Graeme Burton. Muatan dalam buku-buku itu reflektif, provokatif, dan kritis untuk jadi bekal membaca televisi dan selebritas.
Penerbitan buku-buku itu merepresentasikan antusiasme publik pembaca dalam menyusun argumentasi untuk melancarkan kritik atas lakon-lakon televisi. Yasraf Amir Piliang dalam buku Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika (2004) mengungkapkan: “Televisi adalah kotak jiwa yang mengandung pelbagai citra semu, rayuan palsu, dan simulakrum realitas.” Penonton sebagai umat setia bakal diarahkan untuk melakukan “bunuh diri” rasionalitas.Kritik terhadap televisi memang memuat daftar panjang serangan dan senjata. Bagaimana kritik untuk lakon televisi hari ini?
Gosip selingkuh, perceraian, kekerasan, pesta, pacaran, atau bualan dari kaum selebritas terus mengalami pembesaran dan pelipatgandaan sebagai informasi dan hiburan dalam program-program televisi di Indonesia. Kritik dalam bentuk esai atau artikel di media massa cetak dan penerbitan buku mungkin sekadar tanda seru kecil karena tak sanggup meruntuhkan iman pembuat program acara televisi dan penonton televisi?

Selebritas pada hari ini adalah lakon menggemaskan dan mengenaskan dalam acara-acara televisi. “Aku selebritas maka aku penting” menjadi fakta dan tanda seru untuk nasib penonton. Negeri dengan rakyat yang suntuk dan repot memikirkan selebritas adalah negeri ironi dan tragedi. Siapa mau percaya dengan ungkapan provokatif Jean Baudrillard (1983): “Televisi lebur dalam kehidupan dan kehidupan lebur dalam televisi?” Begitukah?

Rumah

Bandung Mawardi *
Dimuat di Kompas, 19 Januari 2008

Wiji Thukul sebagai seorang penyair miskin yang hidup dalam perkampungan sesak di kota Solo mengucapkan mimpi tentang rumah dalam puisi “Suara dari Rumah-rumah Miring” (1987): kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak / tapi bersama hari-hari pengap yang / menggelinding / kami harus angkat kaki / karena kami adalah gelandangan. Mimpi itu lumrah dimiliki siapa pun yang merasa hidup di kota tapi tanpa janji dan klaim kepemilikan rumah. Mimpi itu memiliki relevansi dengan keberadaan rumah-rumah yang dibangun oleh kaum miskin atau “gelandangan”. Rumah-rumah itu berada dalam tanda seru untuk mimpi dan realitas yang ada. Rumah-rumah itu jadi sasaran untuk penggusuran, penertiban, pelenyapan, atau penghancuran. Kaum miskin atau “pemimpi rumah” itu lantas harus melakukan mobilitas dan membangun rumah di ruang lain bersama nasib dan mimpi yang tragis. Agus R. Sardjono menuliskan peringatan itu dalam puisi “Syair Pindah Rumah” (1995): Tapi berapa kali / sebenarnya dalam hidup kita sanggup berpindah rumah, / mengubah alamat dan tempat pulang?
Rumah! Rumah terus jadi persoalan. Orang-orang ingin dan bingung karena rumah. Persoalan rumah dihadapi masyarakat dalam perbedaan kepentingan dan status sosial. Rumah sebagai runag mukim (papan) hidup dipercayai sebagai basis hidup bersama keberadaan dan ketersediaan sandang dan pangan. Rumah dalam pengertian naif adalah tempat tinggal untuk hidup dan perlindungan diri dari pelbagai hal. Pengertian rumah itu mengalami pergeseran dan perubahan bersamaan arus zaman yang memberi cobaan dan godaan besar.
Kaum miskin terus mempersoalkan rumah karena nilai dan fungsi yang ingin didapatkan. Rumah yang ada adalah rumah yang mengalami redefinisi atau minimalisasi bentuk dan fungsi. Kaum miskin di kota harus berani hidup dengan membangun rumah di pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, bawah jembatan tol, ruang kosong, lahan pemerintah, atau ruang-ruang yang memungkinkan. Keberadaan rumah-rumah itu sejak awal membawa persoalan kekuasaan, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan hukum. Rumah-rumah yang berdiri secara permanen atau semi-permanen menambah keramaian ruang kota dengan penampakkan (visual) yang kerap semrawut atau liar. Ruang-ruang yang dianggap kosong menjadi pamrih dan kemungkinan untuk pertumbuhan populasi rumah.
Keberadaan rumah-rumah kaum miskin kota menjadi persoalan kompleks dan dilematis untuk otoritas penguasa dan kepentingan publik. Rumah-rumah itu ada sebagai tempat tinggal (mukim) kaum miskin untuk ruang produksi dan reproduksi manusia dan masalah. Rumah dengan ukuran kecil kerap diperkarakan sebagai masalah besar oleh penguasa atau pengusaha. Rumah-rumah yang ada itu selalu berada dalam tegangan kepentingan pemerintah kota, pemilik tanah, pengusaha, atau pihak-pihak yang berkepentingan.
Persoalan kota sebagai ruang hidup dan pertumbuhan rumah adalah persoalan kegagalan kebijakan tata kota dan konstruksi kota yang sadar masa depan (visioner) dan nilai-nilai kemanusiaan. Kota-kota besar terus tumbuh dengan kepincangan dan ketimpangan. Pertumbuhan (pembangunan) kota seakan adalah pertumbuhan investasi dan ekonomi dengan mengabaikan nilai dan peran kota untuk orang-orang yang menghuninya. Marco Kusumawijaya (2004) mencontohkan bahwa Jakarta selama tiga dasawarsa telah menjadi korban developmentalisme yang justru tidak membangun kota. Konklusi yang diajukan Marco berdasarkan realita kota Jakarta adalah reduksi dan penghilangan peran kota secara signifikan. Kota (ruang kota) sekadar menjadi alat pertumbuhan saja dan bukan sebagai pemukiman manusia. Pemukiman yang dimaksudkan adalah ruang hidup manusia dengan pelbagai aktivitasnya. Rumah dalam pengertian ini jadi persoalan besar dan krusial.
Kaum miskin kota dengan keberadaan rumah merasa memiliki eksistensi dan kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan sesuai dengan kapasitas dan kompetensi. Persoalan-persoalan yang melingkupi rumah menjadi suatu pengesahan untuk kehidupan kaum miskin. Risiko-risiko yang harus diterima dan kerap terjadi adalah ketika rumah-rumah itu jadi momok atau aib yang lekas disingkirkan atau dihancurkan. Rumah-rumah itu lantas digusur atau dilenyapkan sesuai peraturan yang berlaku dan sesuai kepentingan tertentu. Kaum miskin harus melakukan mobilitas dan membuat ancangan untuk membangun rumah di ruang lain.
Bagaimanakah rumah terpahamkan oleh kaum miskin dengan penguasa dan pengusaha? Rumah sebagai ruang hidup, komunikasi, interaksi, rekreasi, reproduksi, atau ruang homonisasi-humanisasi ditafsirkan dengan perbedaan besar dan pertentangan. Ruang kota sebagai ruang ekonomi (uang) tentu jadi lahan untuk mencari penghidupan. Kaum miskin merasa berhak untuk ikut menikmati lahan ekonomi itu sesuai dengan pandangan dan modal yang dimiliki. Pekerjaan yang kasar dan nafkah yang kecil niscaya memengaruhi kebutuhan untuk membangun dan memiliki rumah. Kaum miskin kota membangun rumah sesuai dengan anutan dan kepentingan yang mungkin pragmatis dan naif. Tafsir penguasa atau penguasa kerap berada di seberang dengan dalih dan dalil yang mengacu pada konstitusi, investasi, atau klaim kepentingan publik.
Rumah-rumah di kota-kota besar terus tumbuh dan lenyap. Populasi rumah terus bertambah tanpa pengimbangan ruang-ruang yang representatif dan kondusif. Kaum miskin terus melakukan mobilitas untuk pencarian dan pembayangan hidup yang mensyaratkan rumah sebagai hunian yang mungkin minimalis. Rumah menjadi kebutuhan hidup yang bakal disiasati meski harus berhadapan dengan sekian kepentingan dan konstitusi. Kaum miskin kota menjadi pelaku-pelaku yang heroik dan luwes untuk memandang rumah sebagai persoalan. Praksis rumah kaum miskin yang ada mungkin memiliki jarak dan relevansi yang jauh dari wacana rumah yang diobrolkan di ruang-ruang penguasa, pengusaha, seniman, arsitektur, artis, atau siapa pun.

Rumah yang berada di kota merupakan pilihan yang mengandung kebenaran dan kesalahan. Kondisi rumah dan ruang kota Jakarta yang semrawut dan mengandung persoalan-persoalan pelik adalah contoh dan tanda seru besar yang memberi pengaruh untuk kota-kota lain. Rumah-rumah dalam pertumbuhan kota niscaya mengalami redefinisi dan rekonstruksi dengan pertimbangan-pertimbangan besar dan berisiko. Marco Kusumawijaya mengabarkan: “Jakarta telah membuat banyak orang frustasi karena gagal menjadi tempat yang lebih baik untuk tinggal.” Kondisi rumah dan ruang kota Solo dikabarkan dan dideskripsikan dengan sugestif oleh Wiji Thukul dalam puisi “Suara dari Rumah-rumah Miring” (1987): di sini kamu bisa menikmati cicit tikus / di dalam rumah miring ini / kami mencium selokan dan sampah / bagi kami setiap hari adalah kebisingan / di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat / bersama tumpukan gombal-gombal / dan piring-piring / di sini kami bersetubuh dan melahirkan / anak-anak kami. Rumah sebagai tanda hidup di kota adalah tanda seru yang mengingatkan dan mengkhawatirkan. Begitu.

*) Pengelola Jagat Abjad Solo